Rutinitas kantor hari itu membuat kepala terasa penat. Bola mata terasa perih tiada terperi. Sepanajang hari mematut diri didepan layar LED 17” tanpa henti. Ditambah lagi teriakan perut yang minta di isi sejak pagi, bagai dihimpit dinding tebal berjeruji…
Uh, semoga saya tidak zolim pada diri sendiri. Sebab kondisi semacam itu tidaklah lebih dari sekedar tuntutan kerja yang terkadang menggila. Saya tahu, kalau tubuh ini punya hak perawatan yang baik dari saya. Akan tetapi jangankan istirahat, sekedar berhenti sejenak untuk melenturkan badan saja, hampir-hampir tak ada kesempatan. Saya harus mengejar deadline!
Kalau mendapati keadaan seperti itu, saya langsung menghadirkan bayang-bayang anak dan istri di benak saya. Saya putar sebuah episode ceria yang penuh adegan-adegan mesra. Saya playback satu adegan si bungsu (3 tahun) yang tergopoh-gopoh saat menyambut kedatangan saya – sambil berteriak dengan girangnya, “Abi dateeeng…!” Maka dengan seketika, si sulung (6 tahun) juga tak mau ketinggalan. Seraya menenteng buku atau lembaran tugas sekolah untuk di pamerkan kepada saya, diapun berseru, “Liat nih, Bi! Aku dapet seratus lagi…!”
Biasanya keduanya langsung saya gendong, seraya menghujani mereka berdua dengan ciuman hangat bertubi-tubi. Kalau sudah begitu, maka terbayarlah sejuta peluh dan penat oleh polah jundi-jundiku yang polos dan lucu-lucu itu. Sungguh Allah Maha Adil dan Baik. Setelah seharian itu saya bertempur dengan segala tetek bengek urusan kantor, maka di senja harinya Allah menghidangkan sajian batin yang begitu nikmat untuk saya santap. Di sudut sofa, istri saya juga tidak mau kalah. Dengan memamerkan kecantikannya nan tiada tara, dengan dibubuhi senyuman nan menawan, lagi-lagi menambah kesejukan hati yang sempat mengering sejak pagi.
“Ya, Allah! Besar nian karunia yang Kau limpahkan kepadaku. Padahal aku sangat menyadari kalau pengabdianku kepada-Mu, nilainya masih sangat jauh dari sekedar cukup. Ya Robb, pandaikan aku untuk bisa mengungkapkan rasa syukur yang sebenarnya!”
Buat saya, keluarga adalah suplemen yang mampu memberikan kekuatan baru disaat saya merasa lemah. Mereka tak ubahnya air pegunungan yang selalu merujuki dapur magma dalam jiwa saya. Mereka adalah biasan pancaran kasih illahi yang suci. Yang selalu menjadi sandaran dikala diri hendak rehat dari penat, yang menjadi hamparan sketsa metafora syurga yang kekal dan abadi. Tanpa mereka, saya belumlah berarti apa-apa!
Karena cinta mereka, saya rela berlelah-lelah mencari nafkah. Karena cinta mereka, saya rela dimaki-maki atasan yang bertemperamen tinggi. Karena cinta mereka, saya rela berdarah-darah untuk melindungi serta menjaga mereka. Dan disebabkan cinta mereka pula, hingga detik ini saya masih berdiri tegak dipersimpangan masa yang penuh rahasia. Dimana satu dari rahasia itu adalah bila tercapainya sebuah ‘dermaga pengharapan’. Sebuah dermaga yang sarat akan kebahagiaan, kedamaian, dan juga ketenteraman. Dan biduk kecil yang tengah kami kayuh saat ini harus bisa berlabuh pula di sana. Biiznillah, insya Allah!
Ya! Di dermaga itulah saya dan keluarga akan merenda hari demi hari berselimutkan benang-benang kasih dan sayang. Disanalah saya dan keluarga akan berupaya untuk memperkokoh pilar-pilar sakti rumah tangga, melengkapi sebagian agama yang hampir sempurna, serta menyiapkan bekal untuk menuju kepada hamparan syurga yang hakiki dan abadi.
Fa bi ayyi alaa’i Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Betapa di dermaga itu, Allah akan anugerahkan syurga dunia bernafaskan ruh-Nya, yang senantiasa menggaung, membahana, hingga terpancang kokoh kesetiap kisi-kisi sanubari.. Di dermaga itu, Allah akan curahkan kasih dan sayang-Nya, hingga membuat setiap hamba menjadi terlena, terhanyut, kemudian tenggelam kedalam celupan harmoni cinta-Nya yang mengalun dengan merdu dan syahdu, penuh kedamaian dan ketenteraman, menuntun setiap hamba untuk menggapai mutiara cinta sebagai buah hasil dari pembiasan cinta seorang hamba pada-Nya.
Untuk memperoleh itu, hari ini saya masih merangkak-rangkak di bukit terjal dan berbatu. Yang tak pernah sepi dari onak dan duri yang menghampar di hadapan. Dan sekali lagi, kalau saja tak ada anak-istri yang selalu menjelma menjadi malaikat-malaikat suci, belum tentu saya kuasa berada disini. Kalaulah bukan lantaran pertolongan Allah, belum tentu saya bersabar belajar meng-imla kitab petala dunia dan seisinya.
Hari ini saya masih meraba dunia yang terasa asing. Saya tak ubahnya seorang pengembara di tengah belantara nan luas, yang tertatih mencari tempat singgah yang teduh dan nyaman. Mungkin hari ini saya bisa selamat, namun hari esok siapa yang tahu…? Bayang-bayang kematian bisa bertamu kapan saja. Dan satu tanda tanya besar yang akan terbesit dalam hati: “Apakah saya akan mati setelah saya mampu melabuhkan biduk rumah tangga di ‘dermaga pengharapan’? Apakah saya mati setelah saya berhasil menghunjamkan hakikat “La ilaha ilallah” kedalam diri anak-istri saya? Apakah saya mati setelah saya mampu berbuat seperti Lukman atau bahkan Ya’qub as. yang detik-detik ajalnya sempat menguji keluarganya dengan kalimat “Libaniyhi mata’buduuna mim ba’diy?”
Ya Robbi…, aku tahu itu menjadi rahasia-Mu. Namun sejatinya aku hampir tidak sanggup membayangkan akhir perjalanan yang terburuk. Karenanya Ya Robb, hadiahkanlah aku akan karunia yang sangat ku dambakan saat ini, yakni karunia istiqomah dijalan keridhoan-Mu. Meskipun upayaku saat ini baru bisa selangkah demi selangkah, meskipun hinggga kaki berdarah-darah penuh nanah… Asalkan niat yang kubawa mengandung berkah, mohon terimalah ya Allah…!
Ya Illahi…, kurniakan aku pendamping hidup dan juga keturunan yang senantiasa menyejukkan qolbu, agar aku selalu terhibur disaat kepayahan memikul amanah nan begitu berat. Kemudian hujani kami dengan cinta kasih-Mu, agar kami mampu melangkah beriringan dilingkar kehidupan yang panjang dan rumit ini.
Ya Robbi…, Jadikanlah pertemuan kami hari ini sebagai awal perjumpaan kami saat di akhirat nanti. Dan jadikanlah episode cerita bahagia kami hari ini sebagai metafora syurga-Mu yang kekal dan abadi. Amin Ya Robbal ‘alamiin.
(Yuka Nur'aini, pen)
0 Komentar